Mahasiswa

Mahasiswa. Sebuah title yang pantas diberikan pada seorang Febri Eka Pradana. Kalau mau tahu bagaimana mahasiswa seharusnya maka teman angkatan yang pantas untuk itu adalah Febri. Kuliah jalan, organisasi maju, plus disambi pacaran dan senang-senang. Smooker yang pensiun dini karena penyakit yang dideritanya.

Satu dari sedikit anggota boyband jurusan yang punya otak plus pintar mengelak. Bagi saya, Febri hanya kalah dari Cimeng dalam urusan yang berhubungan dengan diplomasi. Bocah Madiun yang saya kenal karena suatu kelompok praktikum. Selama prkatikum, Febri bukanlah sosok yang nilai pretes dan laporannya paling tinggi, tetapi nilai yang diraihnya selalu masuk dalam kategori excellence. Begini, aturan nilai di tempat saya adalah nilai 81 atau di atasnya dengan maksimal 100 akan diartikan dengan grade A. Febri sangat jarang mendapatkan nilai maksimal, jangankan maksimal, nilai 90 saja tidak.

Sesekali kelompok praktikum kami melakukan pameran nilai. Dan kadang-kadang saya juga turut serta dalam acara pamer nilai antar teman-teman sekelompok. Nilai yang saya punya memang superior daripada milik Febri. Saya yang memang termasuk sosok tak pernah puas, selalu menjadikan nilai maksimal sebagai target dan jika benar-benar menginginkannya maka nilai itulah yang saya dapatkan. Tapi Febri selalu saja berkata dengan cara bicara khasnya;

Sama aja Mei nilaiku sama nilaimu. Sama-sama A. Kalau 82 aja sudah bisa A, untuk apa ngotot dapat 98 (dalam bahasa Jawa)”.

Tanggapan saya atas pernyataan Febri tersebut  hanya sebatas senyum simpul. Mau mendebat juga percuma karena apa yang dikatakannya tidak salah. Memang nilai tersebut tidak menjamin hasil yang sama di akhir praktikum. Percuma mendapatkan nilai 82  di satu mata praktikum sementara di mata acara praktikum lainnya 70, endingnya nilai hanya setara pada huruf B. Tapi Febri adalah satu dari sedikit manusia yang peformancenya stabil. Ibaratnya permainan bola, kawan saya yang satu ini adalah tim yang secara konsisten meraih kemenagan di sepanjang musim, meskipun dengan skor tipis sehingga tidak membutuhkan head to head untuk menentukan peringkatnya di akhir musim. Sama halnya dengan yang ia lakukan di setiap acara prkatikum. Nilainya konstan. 82, 83, 84, dan begitu seterusnya. Kadang kalau sial angkanya mandek di kisaran 75-80. Sehingga pernyataannya di awal masuk akal. Mau 81 atau 100 sekalipun, tak ada bedanya… toh sama-sama A!

Satu hal lagi, nilai konsisten itu tak hanya ia tunjukkan pada satu bidang di jurusan. Semua bidang yang ada di jurusan. Botani bisa, mikrobiologi tak masalah, zoologi kena, ekologi juga mudah. Satu hal yang tak bisa saya lakukan.

Saat teman-teman yang lain berpusing pada Tugas Akhirnya di semester-semester awal, Febri justru larut pada sebuah komunitas yang dipilihnya. Dia sama sekali tidak pernah memperlihatkan ambisi untuk lulus 3.5 tahun ataupun lulus tepat waktu. Tidak ada pula keinginan untuk mendapatkan title cumlaude saat kelulusan, padahal kalau dia mau dia bisa lulus tepat waktu dengan nilai cumlaude. Namun yang dipilihnya adalah lulus agak telat. Bukan karena harus mengulang mata kuliah untuk memperbaiki IPK, melainkan karena memang itulah yang diiginkannya.

Pernah sekali saya bertanya, “TA mu gimana, Feb?”

Jawabannya simple; “Gak gimana-gimana. Aku belum kepikiran ke arah situ”

Sebuah jawaban kurang ajar menurut saya. Saat teman-teman lain tengah jatuh bangun untuk menuntaskan Tugas Akhirnya, dia malah menjawab santai belum kepikiran. Seakan-akan saya adalah orang tua yang menanyakan kapan dia akan menikah! Stres!

Buat saya Febri bukan sosok ideal seorang pemimpin, tetapi layak untuk menjadi jubir ataupun otak dari pimpinannya. Mana ada pemimpin yang targetnya ‘belum kepikiran ke arah situ??!’

Pada masa akhir saya menjalani dunia perkuliahan, banyak pendapat miring mengenai Febri serta sikapnya yang kata teman-teman semain ke lab-lab pan. Ahhh…. masa bodoh dengan itu, toh saya tidak melihat dan mendengarnya secara langsung. Itu urusan dia dan sama sekali tidak berpengaruh terhadap jalan hidup saya. Terserah dia pula mau menilai saya seperti apa, karena saya juga punya terserah untuk memberikan penilaian terhadapnya.

Bagi saya Febri adalah teman angkatan paling gombal yang pernah saya kenal cuma Febri seorang. Teman angkatan yang juga sangat menyebalkan karena begitu senangnya dia menyapa saya dengan kalimat

Apa kabarnya Juventus, Mei. Abis kalah ya kemarin”; dimana saat itu peforma club saya memang sedang menurun (drastis) 😦

Sebuah sapaan yang bagi saya tetaplah hanya sekedar sopan santun kepada seorang teman, meskipun sangat kurang ajar!! Dan kalau dipikir-pikir, sikap Febri terhadap saya selama kami kenal memang selalu ‘kurang ajar’!!! 😉

Nilai stabil. Organisasi juga melaju. Predikat asisten. Punya pacar. Tidak lebay. Itulah mahasiswa.

Kuliah tak hanya untuk nilai dan selembar kertas yang bernama ijazah. Karena dia juga pernah mengatakan “Kalau cuma mau dapat ijazah, ngapain kuliah susah-susah? Banyak kok orang jual ijazah. Kuliah itu harus dinikmati, say”. Bagi saya Febri adalah contoh individu yang benar-benar menjadikan bangku pendidikan sebagai ajang mencari ilmu dimana ilmu tak hanya diukur dari nilai yang berjajar di transkrip akhir, tetapi juga diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Semoga saja pencarian ilmu oleh mahasiswa yang satu ini tidak berhenti saat ia telah selesai dengan aktivitas Tugas Akhirnya.

Begonya si Febri :)

Begonya si Febri 🙂

Sama-Sama Merhatiin Seminar Salah Satu Teman (Aryo). Ekspresi Febri sih Keliatan Mikir, yang bawah (si cemud) lagi nutup mulut pas angop:P

Sama-Sama Merhatiin Seminar Salah Satu Teman (Aryo). Ekspresi Febri sih Keliatan Mikir, yang bawah (si cemud) lagi nutup mulut pas angop:P

Waktu Nonton Pilem Horor di Rumah Ismi

Waktu Nonton Pilem Horor di Rumah Ismi

Leave a comment