Beberapa jam setelah KPU mengumumkan hasil Pemilu pada 9 Juli lalu, saya menggerakkan kaki ke dalam pasar yang letaknya tak jauh dari kosan. Sekedar menghilangkan penat setelah seharian berkutat dengan layar leptop.
Ketika saya berhenti di sebuah kios kelontong yang lumayan ramai, saya mendengar percakapan antara seorang pembeli dengan penjual.
Pembeli : “Untung presidene Jokowi”
Penjual : “Opo’o Mak?” (Kenapa Bu)Ā
Pembeli: “Jokowi iku gak koyok sing sijine. Jokowi lebih merakyat”
Penjual: “Sing sijine sopo, Mak?” (yang satunya siapa, Bu?)
Pembeli: “Emboh.. poko’e Jokowi menang. Jokowi merakyat”
Penjual: tersenyum
kemudian si pembeli berlalu, dan saya masih mendengar sayup-sayup pembeli mengatakan pada orang-orang yang ditemuinya bahwa capres pilihannya terpilih sebagai presiden Indonesia yang ketujuh.
Yaahh… mungkin seperti itulah gambaran rakyat (kecil) saat ini. Mereka seakan-akan dibutatulikan oleh slogan “Merakyat”.
Benar, rakyat kecil memang butuh sosok pemimpin yang bisa berkomunikasi dengan mereka lebih dekat. Membutuhkan sosok yang mau blusukan ke pasar. Membutuhkan sosok yang mau kotor-kotoran di sawah.
Mereka tidak mengerti tentang inflasi. Mereka hanya tahu tentang korupsi dari televisi. Mana pula rakyat kecil tahu bahwa di tahun 2015 mendatang pasar bebas ASEAN benar benar diberlakukan??
Saya juga tidak tahu persepsi pembeli yang saya tuturkan di muka tentang “Merakyat”. Bahkan rasanya aneh ketika dia mengatakan tidak tahu siapa capres lain yang menjadi lawan politik capres pilihannya. Capres di Pemilu lalu hanya dua orang, sementara di pembeli hanya tahu salah satunya. Ketika memilih, apakah tidak sempat melihat wajah capres lain di surat suaranya?
Saya pun tak tahu mengapa si pembeli begitu girang dengan presidennya (presiden kami) yang baru itu. Mengapa dia heboh mengabarkan pada penduduk seisi pasar bahwa capres merakyatnya terpilih sebagai presiden RI. Entah apa yang mendasari alasan dia memilih.
Kalau saya ditanya bagaimana saya menjatuhkan pilihan… simple, saya lihat covernya.
Mau mengatakan “Dont judge a book from the cover” ?? Ahh…. saya manusia biasa yang tak bisa menelaah jalan pikiran orang, sehingga untuk menentukan pilihan haruslah lihat kemasan. Saya juga sama seperti si ibu pembeli tadi. Saya rakyat biasa. Saya tak tahu menahu dengan yang namanya inflasi. Saya tidak super dalam hal ketatanegaraan. Saya pun tak banyak mengerti dengan AFTA yang akan diberlakukan tahun depan. Karena itulah saya memilih dari bungkusnya.
Sama saja seperti membeli makanan di swalayan, tak mungkinlah saya memilih makanan yang kemasannya buruk. Bahkan beberapa produk dilabeli “Jangan diterima bila kemasan rusak”. Sama juga dengan kalian yang hendak membeli buah kiloan atau sayur di pasar, pastilah memilih buah dan sayur yang masih segar… mana ada yang mau membeli buah dengan kulit keriput dan sayuraan layu??? Atau saya yang suka membeli buku… saya tentu saja menolak apabila cover buku tidak dalam kondisi baik… ada lipatan dan lecek sana-sini di cover, cari stok yang covernya masih rapi.
Itu sih cara saya memilih. Iya, saya tahu bahwa memilih presiden itu bukan hanya tentang cover, keriput, busuk, atau buruk rupa. Tapi bukankah sosok yang mencalonkan diri sebagai presiden bukanlah sembarang orang. Semua capres yang sudah lulus seleksi KPU pastilah orang-orang hebat. Mereka pasti telah memiliki treck record sendiri-sendiri untuk negeri ini. Tak mungkinlah KPU memutuskan keduanya sebagai capres jika meraka tak punya kapasitas mumpuni. Karena sama-sama punya taji untuk membangun negeri maka begitulah cara saya menjatuhkan pilihan.
Masih menentang cara saya menjatuhkan pilihan?
Ini kan demokrasi, jadi suka suka saya mau memilih siapa dan atas dasar apa.
Tapi ya sudahlah…. toh sudah ada preien terpilih. Silihan rakyat yang katanya merakyat.
Selamat ya Pak Presiden terpilih… Semoga benar-benar bisa menjadi presiden yang diharapkan mereka yang memilih.
You must be logged in to post a comment.