Musim 2014-2015 diawali dengan rentetan cerita yang kurang menyenangkan.
Keputusan Antonio Conte untuk meninggalkan posisi sebagai kepala pelatih di Vinovo hingga penunjukan Max Allegri sebagai pengganti merupakan pembuka yang hambar. Bukan pilihan pengganti yang tepat, itulah pemikiran mayoritas teman-teman Juventini di seluruh muka Bumi. Banyak alasan yang menjadikan unjuk rasa penolakan Allegri sebagai pelatih Juve. Saya sendiri menolak Allegri bukan karena dia tidak bisa melatih, melainkan karena dia ‘bukan Juve’. Entahlah… yang jelas, saya tidak sedikitpun melihat semangat Bianconeri pada mantan arsitek tim Milano tersebut. No spirit. Tak ada ‘Lo spirito alla Juventus’ dalam sosok Max.
Tapi mau bagaimana lagi, keputusan siapa yang akan menukangi Juve tetap berada di tangan para petinggi club. Mau tak mau, ucapan ‘Welcome Max’ pun harus saya lontarkan. Lupakan Conte!
Belum lagi rumor, desas-desus serta gosip akan rencana hengkangnya Arturo Vidal ke Manchester merah… Awal musim yang begitu menggiatkan kerja suprarenalis!
Satu-satunya kisah manis di awal musim ini adalah kunjungan Juventus ke Indonesia. Melihat mereka berlari-lari di lapangan secara langsung, hanya berjarak 10 meter. Setelahnya.. saya berencana untuk menjalani musim ini dengan rentetan doa. Bukan karena pasrah, melainkan sebuah permohonan pada yang Kuasa untuk tetap mempertahankan tim ini dengan mental juara. Pasalnya, sebagaimana pemaparan di awal, tak ada aura ‘spirit’ dalam sekujur tubuh pelatih baru. Kami sudah meraih tiga gelar serie A beruntun, butuh mental yang lebih lagi untuk bisa mempertahankannya menjadi empat.
Musim kompetisi pun diawali dengan lawatan ke Verona. Sebuah laga pembuka yang sama sekali tak saya ingat jalannya. Skor akhir sepertinya didapat dengan susah payah. Setidaknya gol tunggal Martin Caceres membuat Juve membukukan 3 poin pertama di musim kompetisi baru. Pekan keduapun sama, tak ada greget Juve. Bermain di kandang menjamu Udinese juga tak membuat semangat Juve terlihat di lapangan… Bolehlah Tevez dan Morata mencetak masing-masing sebuah gol, tapi tetap… rasa Juve seakan-akan tak terlihat di J-Stadium.
Tapi tetap, dukungan saya 100% untuk tim. Berusaha untuk tetap setia menyaksikan mereka dari layar kaca. Tetap menjadikan nonton bareng sebagai salah satu agenda kencan. Berangkat ke venue Nobar pada pekan ketiga, berusaha tetap ceria walau panasnya arena nobar naudzubillah… Dan yaaa kecewa, karena tak bisa menonton pertandingan hingga akhir.. tak lebih dari 15 menit, listrik di wilayah setempat padam. Pekan ketiga vs Milano pun gagal menjadi titik balik semangat akhir pekan yang musim lalu selalu saya dapatkan sepulang nobar. Untunglah kami masih mendapatkan tiga poin. Menang satu gol (lagi).
Pekan-pekan setelahnya, setiap pertandingan di liga domestik tidak menggairahkan. Menang dalam tiga pertandingan beruntun, termasuk menggeser posisi AS Roma sebagai capolista di pekan ke 6… namun sama sekali tak terasa semangat alla Juve.
Benar memang, posisi puncak tetap berada di genggaman I bianconerri ketika tim hebat ini harus kalah sebiji gol dari Genoa di pekan ke 9, tetapi hasrat akan ‘Juventus’ tak juga muncul. Jujur saaja, musim ini saya sempat melewatkan beberapa pertandingan. Tak ada semangat untuk nonton bareng di akhir pekannya. Bahkan di sebuah jadwal pertandingan besar melawan tim biru hitam (nama tim sebenarnya tak boleh disebutkan, tabu!), pacar saya tertidur hingga kami batal nonton bareng. Dimulai dari pekan 17 itulah semangat saya akan Juventus hilang seketika.
Berkurangnya semangat pada tim juga ditunjukkan dengan kegagalan meraih tropi Piala Super Italia di Qatar pada bulan Desember…
Saya bukannya berhenti mendukung Juventus, melainkan tak ada semangat yang saya rasa kala Tim ini berlaga di liga. Tapi tetap saja, Juventus masih & selalu yang tercinta.
Rentetan pertandingan di Liga hingga pekan ke 38 tak saya hafal dengan benar… tak ada catatan rapi seperti musim lalu. Saya hanya berdoa. Hingga kemudian asa itu menjadi nyata. Kami tetap juara di pentas liga Italia. Berhasil finish di urutan terdepan. Tanpa 102 poin. Hanya butuh 87 saja dengan catatan 3 kali kalah, beberapa kali seri dan sisanya menang… Ahh, bahkan rincian hasil seri dan menangpun saya tak tahu.
Perjalanan Juve tak hanya sampai di Liga.. Kami pun menjadi jawara Coppa Italia. Sepuluh gelar untuk kompetisi kelas dua di negeri Pizza. Plus harapan besar untuk menggenapi musim di ranah Eropa.
Setelah sukses lolos dari babak penyisihan grup, Juve menghentikan laju Monaco di 16 besar, lalu menjegal Dortmund pada perempat final, hingga memaksa sang juara bertahan El Real angkat kaki di semi final pada laga Liga Champions Eropa (UCL). Partai puncak di Berlin mengharuskan kami bersua Barcelona. Sebuah asa lain muncul… di luar ekspektasi siapapun Juventus berhasil menembus final UCL musim 2014-2015.
Kata legenda hidup & besar Juve;
“From Berlin to Serie B, From Serie B to Berlin!”
Harapan untuk membawa pulang Piala Kuping Besar dan uang 10 juta Euro semakin meningkat. Berharap Gigi Biffon bisa mendapatkan kesuksesan di stadion yang sama kala Ia mengankat trophy World Cup untuk Italia pada 2006 silam. Saya optimis, tetapi tetap realistis.
Skuad ‘alakadarnya’ akan berhadapan dengan bintang-bintang lapangan hijau. Saya percaya pada tim, bahwa mereka akan melakukan yang terbaik… tapi kami masih harus banyak belajar. Di akhir 90 menit pertandingan, Berlin belum berpihak pada Juventus.
Juventus masihlah salah satu yang terbaik di Eropa, dan selalu terbaik di pikiran dan hati saya. Delapan kali menembus final UCL dengan hanya dua kemenangan adalah cerita kurang beruntungnya kami di partai puncak. Menjadi runner-up yang ke 6 kali di pentas Eropa jauh lebih membanggakan daripada mereka yang hanya bisa berkomentar lantaran clubnya hanya bisa berlaga di liga lokal pada musim depan.
Musim ini…Target perempat final UCL terlampaui hingga final…. maka Juventus telah memberikan lebih daripada harapan yang mereka emban.
Berlin telah selesai… Juventus pulang tanpa mahkota, tapi bagi saya mereka tetaplah Juara. Saya pikir saya akan bersimbah air mata atas kegagalan di partai final UCL ini, ternyata yang ada hanya bangga dan rasa cinta yang lebih besar pada La Vecchia Signora.
Musim lalu kami gagal di kompetisi kedua Eropa, kemudian Juve memperbaikinya di musim ini dengan menembus Final UCL. Maka musim depan, prasangka positif untuk Trophy UCL haruslah dimiliki semua elemen Juve.. termasuk Juventini. Cukuplah hadiah 6.5 juta Euro untuk membenahi skuad di musim depan.
Jika memang Max Allegri tetap menjadi pilihan manajemen untuk mengarsiteki Juventus di musim depan maka dia HARUS memperbaiki ‘semangat’ Juve! Mengembalikan ‘Lo Spirito alla Juventus’ pada setiap pertandingan.
Terimakasih untuk musim ini, Tim! Apapun dan bagaimanapun hasilnya, selalu bangga bisa menjadi salah satu bagian dari semangat Bianconerri. Musim depan, semangat itu harus lebih digali. Harus lebih besar. Musim depan, kitalah yang terbaik di Eropa..
Cukuplah untuk musim ini… 33 gelar dan satu bintang perak… #4Ju33 #LaDecima …
Grazie Juventus.
#ProudOfJu
You must be logged in to post a comment.