Keranjang Kepercayaan

Kalau ditanya siapa yang paling kalian percaya di dunia ini, jawabannya apa?

Orang tua? Saudara? Kakak? Teman? Adik? Kakek? Nenek? Om? Tante? Sepupu? Tetangga? Guru? Dosen? Pembantu?

Masing-masing orang memiliki sosok yang dipercayai bukan?

Kalau saya, saya percaya pada Tuhan. Percaya pada orang tua. Percaya pada saudara. Percaya pada teman. Percaya pada siapapun yang pantas untuk dipercaya. Selain Tuhan & Orang Tua & Saudara, mempercayakan sesuatu pada seseorang bergantung pada sesuatu tersebut. Ibaratnya orang yang memiliki kebun buah lima ha, saat kebun buahnya memasuki masa panen tidak mungkin bukan meletakkan seluruh hasil panennya pada sebuah keranjang? Perlu banyak keranjang sebagai wadah hasil panen tersebut supaya hasilnya tidak berjatuhan dan tumpah berceceran di sembarang tempat. Kalau misalnya dengan banyak keranjang hasil panen masih ‘bocor’ dan berserekan… itu artinya, kalian salah membeli keranjang. Salah memilih sosok yang bisa menampung hasil panen yang kalian titipkan.

Jadi, siapapun yang telah menjadi sosok yang di percaya oleh orang lain, sosok yang berperan sebagai keranjang hasil panen….tetaplah menjaga kepercayaan tersebut. Sungguh, kepercayaan itu bukanlah sesuatu yang mudah didapat.

P.S: Untuk ‘keranjang-keranjang’ saya, terimakasih karena telah menjaga kepercayaan yang saya berikan. All of you always amazing 🙂

Try To Be Honest, Please!

Semua mahkluk di dunia ini pasti pernah berbohong,kecuali mereka adalah malaikat atau Nabi. Jangan bilang “aku loh gak pernah bohong” karena itu bullshit!!! Coba ingat jaman sekolah…pasti ada banyak daftar kebohongan yang pernah kita buat.

Simplenya kalau kita terlambat sekolah. Saat guru bertanya “Kenapa terlambat?”

Jawaban mayoritas pastilah “Macet,Bu”atau “Ban motor bocor,Pak”

Entah kebohongan kecil apa lagi yang mungkin saat itu adalah bentuk kenakalan kecil seorang anak manusia.

Tapi lama-kelamaan, bohong sederhana itu bisa menjadi modal untuk sebuah kebohongan besar di masa tua! Saya bukannya tidak pernah berbohong, pernah kok. Dan saya tahu bahwa bohong itu tidak baik. Karena saya tahu bahwa bohong itu tidak baik, saya sebisa mungkin dan sekuat tenaga menahan diri untuk tidak berbohong. Terlepas dari bawaan sebagai makhluk yang tidak sempurna, berbohong itu bisa diminimalisir.

Cara paling sederhana adalah tidak berbohong kecil. Meskipun tidak ada niatan jahat saat berbohong, kebohongan tetap sebuah kebohongan bukan?!

Gampangnya semisal mendapatkan SMS yang isinya ajakan seorang teman untuk jalan-jalan sementara saat itu kita sedang tidak ingin jalan-jalan, dengan alasan tidak ingin menyakiti hati teman baik kerap kali balasan kita “Aduh sorry, aku lagi keluar” padahal kita sedang tiduran di kasur!

Kalau saya… SMS itu tidak saya balas. Selalu begitu. Kalau ada teman yang mengajak jalan-jalan apalagi dadakan (Caca kemplo misalnya 😛 ) dan saya sedang tak ingin jalan-jalan SMS nya tidak saya balas. Tidak dengan alasan pergi keluar atau pergi ke dalam. Dengan tidak membalas SMS teman saya itu tahu bahwa saya sedang tak ingin berada di tengah keramaian. Jadi tak perlu berbohong macam-macam. Saya sih gitu… Diam saja. Itu juga salah satu sunnah Rasul yang diajarkan dalam kepercayaan saya.

Itu cuma satu cara untuk tidak membiasakan kebohongan karena sesuatu yang dibiasakan, meskipun sederhana akan berlanjut pada hal-hal yang sifatnya lebih serius. Apalagi ketika harus berkecimpung di dunia pekerja.

Saat harus mengetahui berbagai hal yang berbau bohong di tempat kerja ini, rasanya kaget. Karena pekerjaan yang saya lakukan ini berhubungan dengan masa depan seseorang, berbohong dalam bentuk apapun dan alasan apapun seharusnya tidak dilakukan. Saya tahu sendiri bagaimana mereka yang berhubungan langsung dengan klien menuturkan kebohongan yang mungkin simple dan tidak mengandung niat jahat, tetapi tetap tidak baik. Misalnya:

Client: “Mas, file pesenanku sudah di email kan?”

Mas: “Sudah kok, Bu. Dari tadi”

Client: “Ohh..tapi belum masuk. Sebentar aku cek dulu ya”

Mas: “Iya Bu”

Lalu beberapa saat kemudian saya mendengar;

Mbak: “Wes dikirim ta, Mas?”

Mas: “Sudah kok, ke admin”

Mbak: “HAHAHAHAHAHAHA….”

Hhhhh….. It’s bad, isn’t it?!

Kalau dipikir-pikir memang benar jawaban si Mas atas pertanyaan client mengenai filenya bahwa email memang sudah dikirim. Si Mas juga melakukan pembelaan dengan mengatakan bahwa client hanya menanyakan apakah filenya sudah dikirim via email, tidak memberikan penjelasan email siapa. Tetapi sebagai seorang profesional seharusnya jawaban itu tidak keluar dari seseorang yang sudah saya anggap senior dan berpengalaman di tempat kerja ini. Terlepas dari apapun alasan mengenai file yang harus dikirim via email tersebut, jawaban yang jujur saya rasa jauh lebih baik daripada alasan bohong. Dan kejadian tersebut tidak berlangsung sekali atau dua kali atau tiga kali. Seringkali!

Atas dasar itulah saya mulai mengurangi respect jika harus berkomunikasi terkait masalah pekerjaan dengan senior terkait. Bukan menyepelekan, melainkan tidak percaya 100% pada apa yang dikatakannya yang mungkin saja benar. Tapi karena saya melihat sendiri bagaimana ketidakjujurannya pada client, bagaimana mungkin saya bisa percaya 100% saat dia berbicara pada saya?

Serius, bohong kecil yang dibiasakan itu dapat menghasilkan akibat yang besar. Salah satunya krisis kepercayaan seseorang terhadap kita!

Sekali lagi, bukannya mau sok tidak pernah berbohong….tetapi ada baiknya mengurangi intensitas & frekuensi bohong sejak dini bukan?

Anak Emas????

Istilah Anak Emas untuk beberapa kalangan itu pastilah sebuah titel tanpa gelar yang bisa meningkatkan citra. Di area pekerjaan, anak emas selalu berkaitan dengan orang yang paling dipercaya oleh si bos. Orang yang selalu diberi tanggung jawab dan paling dikenal jika dibandingkan dnegan karyawan lainnya. Setidaknya itulah yang bisa saya tangkap dari pendapat rekan kerja mengenai seorang ‘anak emas’.

Saya, yang masih tergolong anak baru tapi sudah mendapatkan kepercayaan lebih daripada anak lama  dari atasan, tiba-tiba saja dikatakan sebagai ‘anak emas’ bos oleh rekan kerja. Sebuah sebutan yang menurut saya menggelikan. Menggelikan karena definisi saya terhadap ‘anak emas’ sangat berbeda dengan apa yang ada di fikiran rekan kerja saya itu.

Hampir setiap hari teman kantor menyatakan, “Cieee…yang dicariin Pak Bos Tiap hari

Padahal ya… saya gak tiap hari juga ketemu Bos Besar. Bahkan jarang. Anak Emas? Huuaaaaa…. kalau benar anak emas, harusnya saya tak usah dikasih pekerjaan berat tapi tetap dapat bayaran…gede lagi.! Anak Emas itu harusnya di sayang-sayang. Dikirimin makan malam. Dibuatin kopi setiap pagi. DiSMS sin tiap saat. Tiap malam ditelpon untuk disuruh istirahat. Kalau libur di telpon untuk ditanyain kabar. Pokoknya diperhatiin banget!

Lahhh…kalau dicari tiap hari untuk dikasih pekerjaan lebih namanya bukan anak emas, kakak! Serius… bulan November masih belum berakhir, tetapi jadwal pekerjaan saya sudah tertata hingga 30 Desember 2012… Padahal di tanggal itu saya berencana izin karena memiliki planning ‘going to the somewhere with someone’…. Jadwal deadline juga gak masuk akal. Sehari harus mengunyah 3-4 materi…. HOEKSSSS…. anak emas macam apa itu namanya??

Jadi, kalau masih ada yang bangga dengan predikat anak emas… ambil saja sekalian predikat yang menempel di tubuh saya ini (entah siapa dan kapan nempelnya). Lebih baik jadi anak orang tua masing-masing, kawan!